9 Kebiasaan Orang-orang Jepang
1. Mempertahankan bahasa lokal
Ada yang menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang
memiliki kemampuan bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap
berbicara dengan bahasa Jepang, sekalipun itu terhadap orang asing.
Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka tahu bahwa saya orang asing,
mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika memulai percakapan.
Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya bilang tidak
mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap menggunakan
bahasa Jepang.
Begitu juga ketika di supermarket dan
tempat-tempat umum lainnya. Setiap kali orang Jepang bertanya dan
berkomunikasi, seringkali mereka menggunakan bahasa Jepang. Apa mereka
tidak tahu bahwa saya ini orang asing? Bahwa bahasa Jepang bukanlah
bahasa Ibu saya. Jadi, meskipun kepada orang asing, orang Jepang
kebanyakan tetap menggunakan bahasa lokal mereka.
Menurut yang
saya amati, orang Indonesia beda lagi. Meskipun kurang paham bahasa
Inggris, tapi orang Indonesia tetap berusaha berbicara bahasa Inggris kepada
orang asing, meskipun itu terbata-bata. Saya teringat ketika di Bromo
dulu, pernah ada supir Elf yang berani berbicara bahasa Inggris kepada
turis. Setidaknya, kita bisa menghargai bahasa yang mereka pergunakan.
Ini menandakan bahwa orang Indonesia sangat terbuka kepada orang asing.
2. Santun
Benarkah orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya
tidak diberi jalan saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika
jalanan macet tidak ada yang mau mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya
benar-benar merasakan kesantunan itu. Menyeberang jalan dengan rasa aman
karena tahu mobil tidak akan mendahului sepeda. Mobil tidak akan
mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada pesepeda, dan
pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja jalanan!
Saya pernah ketika akan menyebrang, ada mobil yang menunggu di depan
saya. Tak tahunya, ternyata dia menunggu saya menyeberang terlebih dulu.
Tapi, karena sedang menunggu, saya persilakan mobil itu untuk lewat
duluan. Dan … orang dalam mobil itu langsung memanggutkan kepalanya
tanda sangat berterimakasih. Luar biasa kesantunan yang saya rasakan.
Bahkan, ketika saya lewat di depan orang yang sedang mencabut rumput,
orang itu mengucapkan maaf setelah saya bilang permisi. Mungkin dia
merasa telah menghalangi jalan orang lain. Entahlah, yang saya dengar
hanyalah omelan ketika ini saya lakukan di Indonesia.
Di sini,
membunyikan klakson adalah pertanda bahaya. Klakson hanya dibunyikan
pada saat-saat genting, di luar itu tidak boleh membunyikan klakson.
Makanya, suasana jalanan tidak berisik.
3. Gemar olahraga
Ini juga membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus
sekitar jam 19.30 JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang
jogging. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin dan saya pikir paling
enak kalau diam di rumah. Dan, sebagai orang Indo, tentu saja saya
merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga malam-malam ini. Masih mending
jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara tim. Tapi, kalau
dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini merupakan
kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Dan
kemana-mana, cukup banyak juga mahasiswa Jepang yang suka memakai celana
training. Entahlah, apa dia sehabis olahraga atau tidak. Bahkan, ketika
di kelas pun, ada saja yang memakai celana training. Entah apakah ada
hubungan antara celana training mereka dan olahraga. Memang orang Jepang
tidak suka jika tidak bergerak. Bahkan, orang tua pun gemar
berolahraga. Saya sering melihat para orang tua yang suka mengajak
jalan-jalan anjing mereka ke taman-taman. Maka, jangan heran jika kita
bertanya kepada mereka siapa saja anggota keluarganya, mereka akan
menghitung anjing-anjing mereka.
Dan fakta menarik, olahraga
yang paling beken di Jepang adalah baseball. Itulah mengapa, jika di
kartun-kartun, olahraga yang sering dijadikan figuran adalah baseball.
Masih ingat tayangan Doraemon? masih ingat ketika Giant selalu mengajak
main baseball kepada Nobita dan Suneo? Dan bagi orang Indonesia,
baseball bukanlah hal yang umum. Orang Indonesia lebih familiar dengan
sepakbola dan badminton, benar?
Mensana in corpore sano. Di
dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Mungkin bangsa Jepang
menjadi disegani karena mereka memiliki ketangguhan SDM-nya. Dan jangan
kita remehkan, olahraga bisa menjadi titik awal. Bukankah Rasulullah saw
juga telah bersabda bahwa muslim yang kuat lebih dicintai daripada
muslim yang lemah? Dan Rasulullah saw telah mengajarkan kita berolahraga
dengan memanah, berenang, dan menunggang kuda? Jepang bukanlah negara
muslim, tapi mereka paham betul akan kesehatan jasmani ini.
Silakan baca juga kebiasaan sehat orang Jepang di tautan ini.
4. Tidak suka basah
Tidak suka basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap
kamar kecil sepertinya sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan
konsep kering dan serba otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih
terbiasa dengan toilet basah seperti di Indonesia. Dan ini juga
menyulitkan bagi yang muslim, karena kita harus ber-istinja (bersuci,
membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei menanyakan apakah ada
toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat kebanyakan toilet di
Indonesia sifatnya basah.
Jadi, akan sangat sulit jika kita
meniatkan untuk mandi di kampus, karena toilet di tempat umum tidak
didesain untuk mandi. Bagaimana bisa mandi, lantai basah sedikit saja
langsung dikeringkan oleh janitor. Untuk berwudhu, kami biasa berwudhu
dari wastafel jika sedang di kampus. Dan jika lantai sampai basah,
cepat-cepat kami keringkan. Namun, syukurlah, lama-kelamaan kami sudah
mulai terbiasa.
5. Makan banyak tapi tetap langsing
Di Jepang, ada orang Jepang yang
gemuk. Rata-rata berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya,
lebih banyak yang kurus. Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar
olahraga di atas. Paling banter berbadan gempal, itupun bisa dihitung
dengan jari.
Padahal, ketika teman saya sedang party lab-nya,
dia hanya bisa makan sampai 10 tumpuk piring sushi (1 piring 2 sushi).
Sedangkan teman Jepangnya, malah sampai habis 30 piring. Tapi, anehnya
badannya tetap saja kurus. Saya tidak tahu, mungkin karena memang
makanan orang Jepang kebanyakan mengandung protein. Atau juga mungkin
karena metabolisme orang Jepang lebih baik ketimbang orang Indonesia
yang sekali makan, berat badannya langsung cepat naik. Mungkin juga
masalah gaya hidup?
Mengenai gaya hidup sehat orang Jepang, silakan lihat juga artikel berikut: gaijinpot.com
6. Tidak biasa bersalaman
Awal-awal berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan
saya sewaktu di Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda
membuka perkenalan (khusus sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan
saya dibalas dengan anggukan kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya
pun mengikuti gerakan lawan bicara saya tersebut, dan akhirnya tidak
jadi salaman.
Secara umum, perkenalan biasanya selalu diiringi
dengan salaman. Tapi, di Jepang lain lagi, kita tidak perlu menyodorkan
tangan. Yang kita perlukan hanya menyebutkan nama, kemudian
membungukukkan badan sembari mengucapkan yoroshiku onegai shimasu.
Kebiasaan orang Jepang yang satu ini sangat menguntungkan umat muslim,
terlebih lagi saat berhadapan dengan orang yang bukan mahrom (boleh
dinikahi).
Kalau kita di Indonesia, ketika akan salaman dengan
orang yang bukan mahrom, biasanya kita akan merapatkan telapak tangan
kita dan memposisikannya di depan dada. Dengan begitu, lawan bicara kita
akan mengerti. Namun, jika kita berhadapan dengan orang asing yang
belum tahu, kita akan kesulitan untuk menjelaskan. Dan kemungkinan akan
terjadi kesalah-pahaman jika tidak ada komunikasi yang baik. Biasanya,
lawan bicara kita akan menyodorkan tangan, lalu kita balas dengan salam
“ala lebaran”.
Untuk ucapan terimakasih pun, orang Jepang tidak
biasa bersalaman. Biasanya mereka akan membungkukkan badan, atau
minimal menganggukkan kepala. Ukuran besar-kecilnya rasa terimakasih
orang Jepang bisa kita lihat dari bungkukan badannya. Semakin membungkuk
tandanya ia sangat berterimakasih. Anggukan kepala biasanya untuk
ucapan terimakasih biasa.
Bedanya dengan orang Indonesia, kalau
kita merasa berterimakasih, kita akan menyalami lawan bicara kita
dengan kedua tangan. Dan kemudian biasanya langsung memeluk lawan
bicara. Tapi, sekali lagi, di Jepang lain lagi ceritanya. Jadi, sebagai
pendatang, kita mau-tidak mau akan mengikuti kebiasaan mereka, meskipun
hal tersebut dianggap kecil.
7. Budaya mengantri
Jangan sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke
Jepang, yaitu budaya menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap
peraturan dan santun kepada orang lain, termasuk untuk urusan
mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang.
Kita (pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan
sampai kita membuat malu di negeri orang.
Beda kota, bisa
berbeda juga budaya yang dianut masyarakatnya. Di Osaka, jika sedang
menggunakan eskalator, sebaiknya gunakan sisi sebelah kanan bagi yang
tidak terburu-buru dan mempersilakan sisi kiri bagi mereka yang ingin
bergegas. Sedangkan di Tokyo (dan sebagian kota lain), jalur lambat ada
di sebelah kiri dan jalur bergegas di sebelah kanan. Hati-hati, jangan
sampai kita menghalangi jalan orang lain. Orang Jepang sendiri terlihat
begitu menyesali diri jika mereka sampai menghalangi jalan orang lain.
Cerita lain lagi, dalam suatu perjalanan, pernah saya terjebak dalam
kemacetan yang panjang. Saya pun heran, baru kali itu saya merasakan
macet sedemikian panjangnya. Saya kira di Jepang bebas macet, kemudian
saya tahu bahwa ada kecelakaan yang menjadi penyebab kemacetan itu.
Tapi, betapa elegan-nya orang-orang Jepang dalam berlalu-lintas. Ya,
mereka tetap berada dalam antrian kendaraan yang seharusnya.
Benar-benar membuat saya kagum. Betapa tidak, saya bisa membayangkan
suasana kemacetan di Indonesia yang bising dengan suara klakson; antar
pengemudi tidak ada yang mau saling mengalah; dan perilaku mental
menerabas lainnya. Tapi, lihatlah foto di atas, sama sekali tidak ada
yang menerabas dari sisi kiri; dan juga tidak ada kebisingan klakson.
Benar-benar patut kita teladani.
8. Jari-jari huruf “V” saat dipotret
Coba Anda minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya
saat akan dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V”
sambil menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi
ikut-ikutan bergaya seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum,
terkontaminasi budaya lokal.
Say "Cheezu", and look his finger!
Say “Cheezu”, and look his finger!
Tentu kita dapat dengan mudah menebak apa maksud dari jari-jari mereka.
Ya, itu perlambang “peace” – kedamaian. Tapi, bagi orang Jepang
sendiri, jari-jari “V” adalah perlambang kebahagiaan. Jadi, jika mereka
menggunakan gaya tersebut saat dipotret, itu artinya mereka ingin
menunjukkan kebahagiaannya. Bukan berarti bagi yang tidak itu tidak
bahagia, hehe..
9. Risih duduk bersebelahan
Kebiasaan
ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei saya yang
satu ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan rupa-rupinya. Mulai
dari agama yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di Jepang, sampai
kebiasaan orang Jepang sehari-hari. Waktu sensei saya bertanya, sebagai
orang Indonesia, bagaimana posisi duduk yang lazim jika sedang mengobrol
bersama teman.
Bagi saya, saya lebih nyaman untuk duduk
bersebelahan dengan teman saya ketika ngobrol. Saya merasa lebih bebas
dan tidak canggung. Karena dengan begitu, kita bisa menjadi lebih
santai. Justru saya merasa risih jika duduk berhadap-hadapan. Entah
kenapa, rasanya risih saja, karena dengan posisi tersebut, mata kita
dipaksa untuk terus beradu pandang.
Tapi, kebiasaan orang
Jepang lain lagi. Justru mereka risih jika duduk bersebelahan. Mereka
lebih memilih duduk berhadap-hadapan. Jika sedang ke kantin, restoran,
atau perpustakaan, saya memang tidak melihat orang Jepang yang duduk
bersebelahan. Semuanya duduk berhadap-hadapan. Jikapun ada orang yang
duduk disampingnya, bisa jadi karena keterbatasan kursi atau memang
harus duduk dengan posisi seperti itu (seperti di bis, kereta).